Ilmuwan Temukan Obat Penangkal Flu Burung

Ilustrasi (Foto: Ist)

Nuansa Polnes/HONG KONG - Para ilmuwan dari Hong Kong dan AS telah mengidentifikasi bahan sintetis yang diperkirakan dapat menghambat replikasi virus influenza dan termasuk juga H5N1 yang merupakan virus flu burung.

Berbagai penelitian untuk menemukan obat terbaik bagi flu burung memang sedang marak dikembangkan. Selama ini dunia kesehatan baru bisa menggunakan oseltavimir untuk melawan virus H5N1. Namun para ahli menilai oseltavimir kurang efektif melawan virus H5N1, mereka pun mempertanyakan seberapa ampuh dan bertahan lama oseltavimir dapat diandalkan untuk mengobati flu burung.

Sebagian besar negara maju memiliki sejumlah besar stok oseltamivir dan zanamivir. Kedua jenis obat ini digunakan untuk mencegah perkembangan virus H5N1.

Namun pada Maret lalu, U.S. Centers for Disease Control and Prevention mengungkapkan bahwa 98 persen sampel flu yang diakibatkan oleh virus H5N1 ternyata resistan terhadap kedua jenis obat ini.

Oleh karena itu para peneliti semakin berupaya menemukan bahan terbaik penghambat replikasi virus flu burung. Mereka kemudian menganalisa 230.000 jenis materi yang dihimpun oleh US National Cancer Institute. Pada studi ini sebanyak 20 persen materi tersebut berpotensi untuk menghambat perkembangbiakan proliferation virus H5N1.

Seperti yang dilansir dari Reuters, Kamis (16/4/2009) para ahli kemudian mempublikasikan temuannya pada konferensi pers dengan menyatakan bahan 1 atau yang dinamakan NSC89853 berpotensi untuk dikembangkan sebagai penangkal flu burung.

"Kami telah menemukan materi yang berbeda namun memiliki cara kerja sama seperti oseltamivir," ujar Leo Poon, ahli mikrobiologi dari University of Hong Kong.

Pada penelitian ini para ahli menginfeksi batch terpisah dari kultur sel manusia dengan virus flu musiman dan H5N1. Rupanya bahan 1 efektif mencegah replikasi kedua jenis virus ini.

"Bahan ini dapat dikembangkan menjadi obat baru untuk penyakit flu burung," ujar Profesor Allan Lau dari University of Hong Kong. Namun Lau pun menambahkan, agaknya butuh waktu kurang lebih delapan tahun agar obat tersebut bisa beredar di pasaran. (srn)

kikin

Sumber: okezone